SEKOLAH HARUS GRATIS
Kritik Terhadap Sistem Pendidikan di Indonesia
Kritik Terhadap Sistem Pendidikan di Indonesia
Pendidikan di Indonesia adalah pendidikan yang identik dengan “uang”. Slogan slogan yang mengatakan bahwa “ilmu itu mahal”, “mutu pendidikan sangat tergantung dari besarnya biaya yang dikeluarkan”, sudah lazim di kalangan masyarakat kita. Bahkan masyarakat kita sudah menganggap hal yang lumrah jika ada seorang anak miskin yang tidak dapat mengecap pendidikan. Kenyataan ini semestinya menggelisahkan kita, apakah yang terlintas dibenak anda ketika anda mendengar seorang anak SD membacakan Pembukaan UUD 1945 pada suatu kegiatan upacara bendera di sekolahnya. Dasar konstitusi kita tersebut mengatakan bahwa salah satu tujuan Negara ini adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”, tetapi pada kenyataannya pendidikan hanya menjadi milik kalangan yang mempunyai modal. Timbul pertanyaan di benak kita, “apakah pendidikan di Indonesia adalah pendidikan yang membebaskan? Ataukah pendidikan di Indonesia semakin mengungkung cakrawala pemikiran dan membuat miskin masyarakat kecil? Kita tentunya tidak akan terlalu cepat memberi penilaian terhadap sistem pendidikan di Indonesia. Saya akan mencoba menyajikan beberapa fakta agar kita bisa memberi penilaian terhadap system pendidikan di Indonesia.
System Kapitalisme Pendidikan
Kata kapitalisme tentunya tidak asing bagi kita. Akan tetapi jika kata kapitalisme dirangkaikan dengan kata pendidikan tentunya muncul pertanyaan dalam benak kita : “apakah benar system pendidikan kita menganut paham Kapitalisme?” Bukankah Negara kita berdasar pada paham Demokrasi Pancasila?
Sejak Komunisme runtuh, maka ide-ide tentang sosialisme menjadi kadaluarsa dan cendrung dilarang. Demokrasi Liberal menjadi kekuatan di mana dunia harus sujud di bawah pengawasan Amerika Serikat sebagai penegak system Kapitalisme Modern. System perekonomian diatur oleh WTO (Worl Trade Organization). Organisasi Perdagangan Internasional ini memaksa dunia dan pasar-pasar di setiap Negara untuk tunduk kepada dogma kapitalisme.
Ekonomi liberal ini memaksa semua Negara untuk berpacu dalam membuka pasar dan menarik semua subsidi yang berfungsi sebagai proteksi bagi masyarakat. Kita dipaksa untuk terus-menerus berada dalam kompetisi, hal ini tentulah bukan masalah bagi Negara-negara maju yang memiliki modal raksasa, akan tetapi di lain pihak Negara-negara yang baru berkembang harus mengorbankan banyak pihak dan kompetisi-kompetisi tersebut berubah menjadi persaingan-persaingan yang tidak sehat. System ini juga memaksa kita untuk melakukan privatisasi terhadap sector-sektor publik. Pemerintah tidak lagi berwenang tetapi sector swasta menjadi pemain penting. Untuk mendukung hal ini disebarkan isu ketidakmampuan Negara dalam mengelola sector publik sehingga sebaiknya diserahkan kepada sector swasta untuk mengelolanya. Padahal belum tentu ada jaminan yang jelas tentang tidak akan terjadinya korupsi jika sektor publik tersebut diberikan kepada swasta.
Hal ini kemudian berimbas kepada sector pendidikan, di mana pendidikan dituntut untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang sedang berkompetisi dalam ekonomi liberal. Rezim Neo-Liberalisme telah menempatkan pengetahuan sebagai modal yang memiliki kekuatan uang. Ilmu pengetahuan diukur dari nilai jualnya dan sejauh mana ia berperan dalam kompetisi pasar.
Privatisasi yang dilakukan oleh pemerintah menyebabkan pendidikan bukan lagi milik publik dan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan public, melainkan milik sebagian orang atau lapisan kelas sosial tertentu (para pemilik modal). Kegagalan atau keberhasilan sistem pendidikan dinilai berda sarkan nilai ekonomi, da- lam artian seberapa besar lulusan suatu sekolah berhasil terserap dalam lapangan pekerjaan. Evaluasi bukan lagi menyang kut metodologi yang digunakan atau kualitas pengajar, melainkan sejauh mana sebuah pelajaran atau mata kuliah dapat memberi konstribusi nyata bagi ekonomi pasar. Dengan demikian jelaslah bahwa untuk mengecap pendidikan, ada prasyarat mutlak yang sudah menjadi rahasia publik, yaitu peserta didik harus punya modal besar untuk membiayai ongkos pendidikan yang tidaklah murah karena sistem privatisasi tadi. Semakin lengkaplah kutukan bagi si miskin dan semakin nyatalah bahwa pendidikan di Indonesia adalah pendidikan kapitalisme yang memiskinkan rakyat kecil.
Ingin kaya, tetapi tidak punya pekerjaan. Ingin kerja, tapi tidak sekolah. Ingin sekolah, tapi tidak bisa karena tidak punya uang. Inilah yang saya katakan kutukan bagi si miskin.
Sekolah Membuat Siswa Anarkis
Secara sepintas tentunya kita akan menyangkal bahwa tidak mungkin sekolah membuat siswa menjadi anarkis. Akan tetapi jika anda membaca Gatra edisi 25 oktober 2003 dalam judul “Hukuman Ngawur Bu Guru”, anda akan terkejut mendapatkan betapa konyolnya hukuman-hukuman yang diberlakukan di sekolah. Bayangkan saja jika seorang anak kelas IV SD harus terkencing-kencing dan muntah karena dipukul oleh teman-temannya yang jumlahnya 29 orang dengan mistar papan tulis.
Hukuman ini diperintahkan oleh gurunya karena anak tersebut tidak bisa menghafalkan perkalian tujuh. Tentu saja kita tidak boleh menggeneralisasi bahwa semua guru melakukan hal tersebut. Tentu saja masih banyak pahlawan tanpa tanda jasa yang mengabdi tanpa pamrih seperti lagu Iwan Fals “Bapak Umar Bakri”.
Akan tetapi kalau anda membaca/ menyaksikan kisah tentang Penganiayaan di Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN). Mungkin tanggapan kita adalah; bagaimana mungkin para mahasiswa yang akan menjadi panutan dalam masyarakat bertingkah seanarkis itu? Dan sedihnya lagi kejadian itu bukanlah yang pertama dan terakhir.
Jika kita belum sampai pada kesepakatan bahwa sekolah dapat membuat siswa menjadi anarkis, anda dapat melihat peristiwa-peristiwa perpeloncoan yang terjadi setiap tahun ajaran baru. Mahasiswa senior merasa berhak dan pantas untuk memberi pembinaan kepada adik-adik baru mereka. Pemukulan dan penyiksaan fisik serta mental tersebutlah yang mereka namakan sebagai pembinaan.
Jika kita bertanya siapa yang menjadi penanggung jawab dari masalah ini maka kita tentu bingung mau menuding siapa? Dalam proses pembelajaran yang berlangsung di sekolah, siswa bagaikan batang korek api di tangan guru dan yayasan. Yayasan sendiri bergantung kepada kepada penguasa-penguasa yang di atasnya, antara lain para pengusaha (industrialisasi), sampai kepada kaum militer yang mengatur jenis pelajaran dan sampai berapa lama siswa harus menempuh pendidikan. Sistem ini yang kemudian lebih dikenal dengan istilah kurikulum.
Erich Fromm mengatakan bahwa sekolah cendrung mematikan perasaan tak senang siswa. Siswa tidak boleh memilih dan menolak mata pelajaran yang disenangi atau tidak disukainya. Jika siswa mencoba melanggar ketentuan ini maka sudah jelas hukuman apa yang menantinya. Emosi dalam kebanyakan sistem sekolah selalu dipisahkan dengan sisi intelektual seseorang. Sehingga usaha untuk berfikir menjadi sebuah kegiatan yang tidak layak untuk dilakukan. Para siswa malahan harus menghafal serangkaian data-data yang tidak ada kaitannya dengan kebutuhan siswa, bahkan data-data tersebut cendrung tidak otentik lagi.
Dampaknya bagi pelajar adalah, para siswa akan memandang kebenaran sebagai sesuatu yang relatif, tergantung siapa yang menafsirkannya, dan barangsiapa yang mengusut kebenaran tersebut segera akan dikenai sanksi. Sadar atau tidak hal ini membuat para siswa menjadi tidak kritis dan hanya menjadi “burung Beo”. Para siswa juga kemudian dibungkus dengan kurikulum-kurikulum yang tidak bersentuhan langsung dengan masyarakat, sehingga siswa menjadi “Raja dari Ilmu Pengetahuan”, akan tetapi buta terhadap realitas masyarakat yang ada. Siswa dibiasakan menatap penderitaan, kemiskinan, ketidakadilan, kekerasan, tanpa adanya rasa “mengamuk” dalam batinnya.
Siswa kemudian dibiasakan dengan klasifikasi-klasifikasi dalam lingkungan sekolah, misalnya siswa bodoh dan siswa pintar, sekolah bermutu dan sekolah tidak bermutu. Klasifikasi-klasifikasi ini secara tidak sadar akan membangun gagasan dalam dirinya untuk memperlakukan kelompok yang berbeda dengan dirinya secara berbeda.
Disekolah-sekolah tertentu, para siswanya dijadikan mesin tak berperasaan, salah satu contohnya adalah kasus STPDN, para praja tingkat 3 dengan brutal memukuli dan menganiaya adik-adiknya sampai tewas. Lebih buruknya lagi ketika pelaku ini diinterogasi mereka hanya mengatakan “siap, kami salah!”. Ungkapan dingin seperti yang sering kita dengar dari mulut para tentara yang memang dilatih secara khusus untuk menjadi mesin pembunuh dan tanpa hati nurani.
Siswa juga cendrung merasa tertekan selama berada pada jenjang sekolah, hal tersebut nampak dari ekspresi mereka dalam menghadapi pengumuman kelulusan. Mereka lebih nampak seorang tahanan yang baru saja dibebaskan dari hukuman mati ketimbang menggambarkan sikap seorang siswa yang merasa bahagia akan keberhasilannya. Aksi corat-coret, kebut-kebutan dan bahkan sekarang berkembang menjadi pesta narkoba, miras dan beberapa diantaranya melakukan seks bebas sebagai ekspresi. Sistem Pendidikan Membuat Sekolah Menjadi Fabrik Pencetak Pengangguran Pendidikan berasal dari bahasa Latin educare, yang berarti “membawa keluar”. Sekolah semestinya dijalankan dengan fungsi ini.
Para siswa harus dibawa keluar untuk bersentuhan langsung dengan realitas dalam masyarakat. Sayangnya siswa lebih banyak diberi jawaban-jawaban yang definitive, ketimbang memberi rangsangan kepada siswa dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggairahkan, sehingga intelektualitas siswa dapat berkembang. Rangkaian mata pelajaran yang disusun dalam kurikulum membuat siswa terus-menerus berkutat dengan materi-materi pembelajaran, tanpa punya waktu untuk mempedulikan fakta-fakta social di sekitarnya. Pendidikan yang menjauhkan siswa dari realitas social ini telah membungkam rasa kepedulian dan daya kritis peserta didik. Siswa menjadi tidak kreatif dan tidak mampu menghasilkan karya-karya yang orisinil. Dampak yang paling buruk adalah para siswa tersebut tidak dapat langsung terjun ke dunia kerja begitu menyelesaikan jenjang pendidikannya. Mereka tiak mampu mandiri karena kreativitas mereka telah lama mati di bangku sekolah. Salah satu solusi yang ditawarkan kemudian adalah dengan membuat sekolah-sekolah kejuruan.
Ini dolusi yang cukup baik, karena para siswa betul-betul dilatih untuk terjun dalam dunia kerja, dan juga sekolah kejuruan seperti ini dapat menyingkatkan lamanya waktu sekolah sehingga biaya lebih kecil. Sayangnya hal ini kurang mendapat perhatian dari pihak pemerintah, atau mungkin juga pemerintah sengaja tutup mata, sehingga pihak swasta segera mengambil alih pengelolahan terhadap sekolah-sekolah kejuruan. Banyak industri-industri besar yang menjadi sponsor dari sebuah sekolah kejuruan, hal ini bertujuan untuk mendapatkan pasokan tenaga kerja yang murah, namun terampil bagi industri tersebut. Sayangnya para siswa tersebut tidak sadar akan hal ini, dan sekalipun mereka sadar akan eksploitasi ini, mereka tokh tidak dapat berbuat apa-apa karena mereka sangat membutuhkan pekerjaan tersebut. Sekolah asik-asik saja, karena dengan mengajak industri tertentu untuk menjadi sponsor sekolahnya ia mendapat dana segar dan sekaligus popularitas, sehingga semakin banyak yang berminat untuk masuk kedalam sekolah tersebut. Sungguh malang nasib para alumnus pendidikan di Indonesia, kalau bukan menjadi pengangguran mereka akan dieksploitasi oleh kaum-kaum kapitalis.
Sekolah dan Pendidikan Harus Gratis
Saya kira cukuplah fakta-fakta ini bagi kita untuk menuding pendidikan kita di Indonesia sebagai pendidikan yang semakin mengungkung cakrawala pemikiran dan membuat miskin masyarakat kecil.
“Sebenarnya dimanapun negara yang pendidikannya maju, tidak ada pendidikan yang murah. Pendidikan itu mahal”. Kata-kata tersebut dilontarkan oleh seorang pejabat Diknas. Bukankah tugas pendidikan semestinya mencerdaskan dan mendewasakan anak didik? Dan bukankah tugas pejabat pendidikan untuk membuat pendidikan menjadi murah dan bisa menampung semua warga? Saya kira semua akan setuju bahwa negara ini akan mencapai kemerdekaan dalam arti yang seluas-luasnya jika semua rakyatnya mendapat akses dan kesempatan yang sama, terutama untuk menikmati pendidikan yang membebaskan.
Lalu sekarang apa yang kita akan lakukan? Apakah kita hanya akan menjadi penonton dan tukang kritik dari semua masalah ini? Saya kira tidak, cobalah kita belajar dari tokoh-tokoh pemuda yang telah mengecap pendidikan pada zamannya. Douwes Dekker, Haji Ahmad Dahlan, Suwardi Suryaningrat, R.A. Kartini, dan tokoh-tokoh lainnya. Mereka tidak hanya menjadi orang-orang yang pandai, tetapi mereka juga punya rasa kepekaan yang luar biasa dalam melihat kebodohan dan eksploitasi oeh penjajah terhadap anak bangsa ini. Mereka membangun sekolah-sekolah rakyat, dan membebaskan siswanya dari kebodohan yang menindas.
Pemerintah kita mestinya malu terhadap Cina. Negara yang cendrung kita olok-olok ini karena sistem komunis yang diterapkannya, ternyata salah satu kebijakan negara komunis ini adalah membiayai 5.000 – 10.000 para mahasiswanya untuk belajar ke negara-negara Eropa setiap tahun.
Kebijakan ini juga ditempuh oleh negara tetangga kita Malaysia. Pada tahun 60an, Malaysia mengirim ribuan calon-calon gurunya ke Indonesia untuk belajar, sekarang kita malah tidak mampu berkutik melawan Malaysia dalam segala hal termasuk dalam hal pendidikan. Yang lebih radikal lagi dan semestinya cambuk bagi pemerintah kita adalah kebijakan yang diambil oleh Negara Kuba. Negara yang diembargo ekonominya oleh Amerika ternyata mampu mengratiskan sekolah bagi rakyatnya. Hal ini terjadi karena para pemimpinnya sadar akan pentingnya fungsi pendidikan sebagai pembebas, dan juga karena para pemimpinnya tidak hanya mengumbar janji-janji Palsu mereka ketika kampanye.
Lalu apa solusi yang ditawarkan?
- Alokasi APBN sebesar 20% yang sebenarnya sangat kecil ini, harus dialokasikan dengan benar, jangan dikorupsi lagi. Bukankah sudah banyak tayangan-tayangan dari TV yang memperlihatkan banyaknya bangunan-bangunan sekolah yang sudah tidak layak pakai.
- melakukan pemotongan gaji untuk pejabat-pejabat tinggi dan dana tersebut dialokasikan untuk pendidikan. Banyak pejabat-pejabat kita memiliki pundi-pundi pribadi melalui bisnis pribadi mereka, belum lagi tunjangan-tunjangan yang mereka terima. Salah satu contohnya adalah tunjangan rumah dinas bagi anggota dewan yang bernilai puluhan juta per bulan per orang. Apa mereka semua belum punya rumah? Sehingga harus mendapat uang dari negara yang dipungut dari pajak rakyat untuk membeli rumah, padahal rakyat kita bodoh-bodoh dan miskin. Ini bukti ketidakpekaan para pejabat negara kita, yang terus-menerus minta difasilitasi, padahal rakyatnya bodoh-bodoh dan miskin.
- Perusahaan-perusahaan besar harus dikenakan pajak khusus dan dana tersebut dialokasikan untuk biaya pendidikan.
- Para Investor-investor asing yang masuk ke Indonesia harus terlibat dalam pembinaan dan pembangunan sekolah-sekolah.
- Mengusut kasus-kasus korupsi dalam sektor pendidikan khususnya dan memberi ganjaran yang seberat-beratnya.
- Harus ada standar baru tentang kualitas pendidikan kita, dari segi kemampuan dan kreativitas siswa.
- Mengajak semua element masyarakat untuk mengadakan pengawasan terhadap sistem pendidikan kita. Semua ini tentunya hanya berupa saran saja, langkah yang lebih penting ada di tangan pemerintah kita sebagai pengambil dan pelaksana kebijakan.
Sebagai umat Kristen kita semestinya harus menjadi seperti Yesus. Bukankah Yesus telah memberikan teladan yang sangat jelas kepada kita tentang suatu model pendidikan yang membebaskan. Yesus mendidik para muridnya dengan langsung membuat mereka bersentuhan dengan realitas masyarakat. Para murid tidak dijauhkan dari realitas sosial yang ada, melainkan para murid dibuat bersentuhan langsung dengan mengutus mereka ke tengah-tengah masyarakat. Yesus juga tidak menekan kesadaran para murid. Bahkan cendrung Yesus mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh para murid untuk terjun langsung dalam pelayanan-pelayanan yang dilakukan oleh Yesus untuk memberitakan Kerajaan Allah dan membebaskan umat manusia dari kuasa dosa.
Dengan demikian, tugas kita adalah melanjutkan apa yang Yesus telah lakukan sebelumnya. Saya sangat menyesalkan sekolah-sekolah yang didirikan oleh yayasan Kristen yang kemudian menarik pungutan-pungutan dari siswanya yang ternyata sangat memberatkan siswa tersebut. Lebih parahnya lagi iuran-iuran ini ternyata tidak punya relevansi dengan mutu pendidikannya. Misalnya di salah satu sekolah Kristen, para siswanya diharuskan untuk membeli buku tulis khusus yang telah diberi lambang sekolah tersebut, katanya untuk menjaga identitas sekolah. Apakah tanpa buku tulis yang harganya cukup mahal tersebut, para siswa tidak dapat menulis? Belum lagi sikap gereja yang acuh tak acuh dengan hal ini. Angaran gereja lebih dialokasikan pada kegiatan-kegiatan yang bersifat ritus keagamaan dan nomor dua setelah itu adalah anggaran rapat gereja. Semestinya gereja lebih terlibat secara aktif dalam program-program nyata untuk mencerdaskan masyarakat Indonesia, misalnya dengan beasiswa-beasiswa. Jika saja sepertiga dari anggaran perayaan Natal dialokasikan untuk beasiswa pendidikan anak-anak jemaat maka anggaran tersebut dapat digunakan untuk biaya sekolah atau kuliah bagi anak jemaat yang kurang mampu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar